Minggu, 27 Desember 2009

Bank Syariah

Banyak bank konvensional yang sekarang dikonversi menjadi bank syariah. Apakah ini pertanda perbankan syariah mulai mendapatkan tempat di masyarakat?


Banyaknya bank yang dikonversi atau membuka cabang bank syariah, menunjukkan bahwa sistem yang paling baik [dalam perbankan] untuk manusia itu adalah sistem yang diciptakan oleh pencipta manusia itu sendiri. Artinya yang paling tahu kebutuhan manusia itu ya hanya Allah subhanahuwataala sendiri. Apa yang sekarang terjadi menunjukkan bahwa harus ada suatu keadilan dalam sistem finansial. Yang ada dalam bank konvensional itu bukan justice. Di satu sisi ada pihak yang sangat berat mengembangkan sektor usaha, di sisi lain ada pihak yang dengan tenang menerima berapapun yang dihasilkan dari sektor usaha. Artinya, ia digaransi untuk mendapatkan bagian yang pasti.
Sistem semacam ini tak mungkin dapat bergerak dalam situasi yang sulit seperti ini. Kesulitan ini pun tidak hanya dirasakan oleh dunia perbankan, tapi juga oleh otoritas moneter. Mereka melihat adanya urgensi untuk melihat sistem alternatif. Ini suatu fenomena yang baik, suatu tobat dalam dunia perbankan. Kita harapkan bukan hanya kesadaran sesaat, tapi juga didorong oleh suatu kewajiban, bagi bankir atau pemegang bank Muslim memang harus bergerak ke arah sana. Seandainyapun ia non-Muslim, masih bisa berbicara dari sisi competitiveness of system. Sistem ini kan mampu memberikan rahmatan lil alamin alias kebaikan dan nilai kompetitif termasuk kepada yang bukan Muslim.

Di mana letak keunggulan bank Islam dalam situasi krisis?


Dia mampu untuk me-laverage out biaya dana. Maksudnya, kemampuan untuk menyeimbangkan biaya dana dan ia tidak dibebani oleh biaya yang memang tidak bisa ditutup oleh pendapatan. Yang terjadi sekarang adanya suatu beban biaya dana, bunga tabungan yang itu terkadang lebih besar dari yang dihasilkan oleh sektor dunia usaha. Sementara di bank syariah itu tidak mungkin ada suatu beban untuk biaya dana lebih besar dari hasil tabungan. Karena apa? Karena ia bagi hasil.

Termasuk kalau rugi juga dibagi?


Sesungguhnya kalau terjadi rugi itu harus dilihat apakah ruginya per proyek atau rugi secara keseluruhan. Mungkin ada satu atau dua proyek rugi, tapi kerugian ini mungkin akan dikompensasi oleh proyek tiga-proyek empat yang mengalami keuntungan. Jadi nantinya di akhir bulan hasilnya positif terus meski keuntungannya jadi berkurang. Yang terjadi tetap keuntungan, besar atau kecil bukan kerugian. Kecuali jika bank syariah itu dikelola dengan cara yang tidak profesional. Semuanya pakai kolusi, semuanya macet, ini bisa terjadi. Tapi itu kan sudah melanggar prinsip prudential bank itu sendiri.

Untuk mengatasi biar tidak rugi?


Biaya operasional itu kan ada pos-pos yang sangat penting dan ada yang kurang. Misalnya untuk pos-pos gaji karyawan itu tak mungkin dikurangi. Untuk yang kurang penting seperti biaya entertainment, biaya dinas, alat tulis kantor, biaya telepon, listrik bisa dikurangi. Mana yang prioritas mana yang tidak harus ditentukan. Jadi Bank Muamalat itu bukan tidak bisa collapse karena miss management, dan bukan karena sistemnya lho ya. Kedua, bila ia tidak mampu menyeleksi proyek-proyek yang baik.
Kalau proyek-proyeknya berbau KKN bisa collapse juga, karena itu kan menyalahi firman Allah wala tulquu biadiikum ila al-tahlukah. ''Jangan engkau campakkan dirimu kepada kebinasaan.'' Memberi kredit kepada yang tidak layak kan sama saja mencampakkan diri kepada kebinasaan. Yang ketiga, bila ia tidak bisa melakukan recovery dari proyek-proyek yang macet, tidak punya suatu kegigihan untuk mencari jalan keluar dari kesulitan ini. Keempat, ia tidak bisa melakukan efisiensi biaya operasional, dan kelima, ia tidak bisa melakukan suatu kompetisi yang baik di pasar.
Pasar itu kan rasional. Mana yang baik, mana yang servisnya bagus, mana yang network-nya banyak, ke sana orang akan pergi. Market kita kan ada tiga katagori; religious driven [dorongan agama semata], purely profit driven [dorongan mencari keuntungan semata] dan fifty-fifty. Yang terakhir saya kira yang paling banyak, artinya halal oke, tapi harus punya kompetitif tinggi. Minimal saya dapat seperti yang lainlah. Berapa Bank XX ngasih, Anda ngasih ya oke. Tapi kalau tidak bisa seperti itu ya pikir-pikir juga.

Bank-bank yang dikonversi kan masih dikelola oleh orang lama. Apa mereka tidak menularkan virus KKN?


Di situlah pentingnya ada pihak yang mensupervisi, pihak yang mengawasi. Nah, untuk bank syariah itu pengawasannya kan dua. Satu, pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia secara berkala. Artinya, pengertian untuk proyek-proyek yang baik dan sehat itu akan ditetapkan. Ada istilahnya non performing loan [NPL] yang berarti kredit macetnya tinggi. Pengawas yang baik akan menanyakan kenapa proyek ini bisa diberikan. Nantinya akan diberikan teguran. Yang kedua kontrol internal yang disebut Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini harus ada. Yang di lokal ada DPS [Dewan Pengawas Syariah], yang nasional namanya DSN (Dewan Syariah Nasional).

Yang sekupnya nasional ini akan membentuk DPS [Dewan Pengawas Syariah] di bank yang bersangkutan. Salah satu tugasnya memastikan bahwa produk operasional sudah sesuai dengan syariah atau tidak. Termasuk juga rapat rutin, usulan produk, dia setujui atau dia tolak. Atau suatu produk yang melanggar syariah, ia berikan teguran, dan dia follow-up-i atau minimum dalam sebulan ada rapat antara DSN dengan manajemen. Bagaimana perkembangan bulan ini, bagaimana NPL, bagaimana profitnya.

Apakah pelanggan BMI ini hanya orang Muslim saja?


Yang sekarang sudah masuk itu mayoritas Muslim. Yang non-Muslim sebagai penabung itu beberapa, tapi yang kredit itu cukup banyak. Karena dalam suatu perusahaan itu tak bisa memastikan apa mereka Muslim semua, yang paling banyak mereka mix dalam satu perusahaan. Secara syariah kita memberikan prinsip rahmatan lil alamin kepada siapa saja. Walaupun ada skala prioritas. Artinya siapa yang paling membutuhkan. Yang membutuhkan umat kita. Temen-temen non-Muslim itu tahu diri. Yang kedua melihat faktor sosial politis, jangan sampai tabungan dikumpulkan dari orang kecil, tukang becak, guru-guru, setelah jadi Rp 10 miliar dikasih kepada orang semacam Prayogo Pangestu. Ini halal, tapi nggak sehat.
Yang ketiga, kalau BMI sudah luas jaringannya, sudah luas produknya, maka ia akan bisa menservis semua kalangan masyarakat. Kalau ATM-nya BMI sudah setengah, atau seperempatnya Bank XX, maka nanti yang pegang ATM BMI bukan hanya Muslim, tapi yang non-Muslimpun juga. Seperti Bank XX, tidak melihat agamanya. Asal setiap saat bisa mengambil uang dari sana. Kalau jaringannya sudah luas, orang bisa bayar telepon, bayar listrik dari sana. Jadi yang penting servisnya bagus, networknya banyak. Ini yang perlu menjadi agenda BMI menjadikan service oriented.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar